Udara dingin masih menyelimuti Pelabuhan Tahuna dan Pasar Towo’e saat bayang-bayang seorang anak muda mulai menyusuri gelapnya subuh. Wajahnya masih menyimpan sisa kantuk, namun langkahnya tetap mantap. Di bahunya, tertumpang harapan. Di tangannya, tergenggam beban hidup yang tak pernah ia keluhkan. Namanya Brayen Hariawang, wilayah perbatasan Indonesia dan Filipina.
Wajahnya masih menyimpan sisa kantuk, tapi langkahnya mantap. Di bahunya, harapan. Di tangannya, beban hidup yang tak pernah ia keluhkan. Namanya Brayen Hariawang seorang anak muda Sangihe, wilayah perbatasan Indonesia-Filipina.
Hujan tipis menari-nari di permukaan laut. Sayur-mayur dari atas kapal sesekali terjatuh, tercebur ke air. Tanpa ragu, Brayen melompat.
Air laut bukan penghalang. Ia menyelam ke gelapnya air, mengangkat kembali beban yang sempat hilang.
“Sudah basah, dingin pula,” katanya ringan, seolah tubuh yang menggigil dan pakaian yang kuyup adalah bagian biasa dari kehidupan.
Brayen Hariawang bukan pekerja pelabuhan penuh waktu. Ia adalah seorang mahasiswa semester dua di Politeknik Negeri Nusa Utara, Kepulauan Sangihe. Usianya baru 21 tahun.
Di sela-sela jadwal kuliahnya, ia bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan demi membiayai kuliahnya sendiri.
“Kalau minder, tentu tidak. Dari kecil orang tua saya sudah biasakan untuk tidak malu bekerja. Yang penting bukan mencuri atau minta-minta,” tuturnya dengan suara yang penuh tekad.
Rutinitasnya nyaris tanpa jeda. Pukul tiga dini hari, ia sudah mulai bekerja. Aktivitasnya berakhir sekitar pukul tujuh atau sembilan pagi.
Padahal, pukul delapan ia harus sudah berada di kampus di Manganitu—sekitar satu jam perjalanan dari Tahuna.
“Sering telat masuk kelas, tapi beberapa dosen tahu kondisi saya. Mereka bisa mengerti,” ucapnya lirih.
Namun bagi Brayen, hidup bukan soal keluhan, melainkan perjuangan. Setiap pagi yang ia lalui di pelabuhan adalah bagian dari perjalanan panjang untuk meraih mimpi.
Ia memilih jalan berdikari, tak berharap pada kiriman uang dari orang tua. “Saya ingin membahagiakan orang tua tanpa membuat mereka susah,” ujarnya, sembari menatap jauh ke laut, seakan mencari jawab dalam gelombang.
Bekerja sambil kuliah saja sudah berat, tapi Brayen menjalani lebih dari itu. Ia juga seorang pelari jarak jauh yang berkali-kali naik podium juara dalam berbagai lomba di wilayah Sangihe dan sekitarnya.
Di tengah kesibukan, ia tetap menjaga stamina dan semangat. Beberapa prestasi yang pernah ia raih antara lain:
- Juara 1 lomba lari jarak jauh HUT PLN di Tahuna (2024)
- Juara 2 lomba lari HUT Bhayangkara di Sitaro (2023)
- Juara 3 lomba 10 km GMIST Kendagu Ruata (2024)
- Juara 1 lomba 8 km di Kecamatan Tamako (Agustus 2024)
- Juara 3 lomba 5 km KONI Sitaro (2024)
- Juara Harapan 1 Kejurda Tondano (2023)
Prestasi itu bukan sekadar deretan angka dan piala. Di baliknya, ada latihan diam-diam selepas kuliah, ada tubuh lelah yang tetap dipaksa berlari, dan ada mimpi yang terus dikejar tanpa sponsor, tanpa kemewahan fasilitas. Ia percaya bahwa kerja keras akan membawanya ke tempat yang layak.
“Saya menemukan arti kehidupan yang sebenarnya: bahwa hidup itu tidak semudah yang dibayangkan. Belajar mandiri, tidak bergantung pada orang lain,” ungkapnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Brayen Hariawang bukan tokoh besar, bukan pula selebritas. Tapi dari pelabuhan yang basah hingga podium yang terang, ia menunjukkan pada kita bahwa keberanian dan kerja keras bisa datang dari siapa saja—termasuk dari seorang anak muda Sangihe yang tak takut basah demi masa depan.
Di antara aroma garam laut dan suara kapal yang bersandar serta suasana pasar Towo’e Tahuna menjadi tempat ternyaman baginya , Brayen berdiri. Ia bukan hanya memikul karung sayur, tapi juga mimpi.
Dan setiap langkah yang ia ayunkan, baik di pelabuhan maupun di lintasan lari dan konten-kontennya yang kreatif adalah langkah menuju cita-cita yang terus ia perjuangkan—dengan hati yang kuat, kaki yang tak gentar, dan jiwa yang tak pernah menyerah.
Penulis: Jaya Bawole
Editor: Sandra Refli Medawo