Warisan Leluhur: Area ‘Terlarang’ yang Sarat Makna di Desa Lesabe, Sangihe

The Narator

Penulis: Alpianus Tempongbuka

Awalnya saya percaya bahwa larangan-larangan yang diciptakan oleh para tetua pada areal-areal tertentu di Desa Lesabe, Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, dikarenakan ada penghuni yang telah memiliki alam lain.

Oleh karena itu, saat masih anak-anak, kami dilarang untuk mendekat ke tempat-tempat itu.

Setelah menempuh pendidikan tinggi dan pemikiran saya tersentuh berbagai aliran filsafat, rasa penasaran kembali tersirat, apakah benar area terlarang tersebut memiliki penghuni tersendiri?

Saya yang lahir dan tumbuh di wilayah pegunungan maka masih memiliki nadi berburu hewan liar di hutan (tikus pohon, bawak dll).

Bermodalkan senjata tradisional yang terbuat dari bambu kecil dengan mata panah saat berburu, saya nyaris mengenal wilayah hutan di Desa Lesabe.

Kurang lebih lima tahun disaat libur panjang perguruan tinggi, saya pulang kampung dan mengajak anak-anak muda bahkan para tetua untuk berburu dengan jalur melewati sejumlah tempat yang dianggap memiliki nilai-nilai mistis.

Tak jarang, saat beristirahat di tengah kegiatan berburu, saya menanyakan kisah di balik tempat-tempat mistis nan ‘terlarang’ itu.

Lama-kelamaan saya memberanikan diri untuk masuk hutan-hutan tersebut sendirian.

Saya ingin tahu mengapa saat masih kecil, para orang tua selalu melarang kami masuk ke wilayah-wilayah tersebut, bahkan menakuti-nakuti kami dengan cerita-cerita yang bikin merinding.

Saya yang gemar menonton film horor Indonesia—karena sering mengangkat ciri khas atau adat dan budaya tiap daerah, termasuk larangan-larangan di perkampungan—menjadi semakin tertarik dengan hal-hal yang bersifat “terlarang”.

Penelusuran demi penelusuran pun saya lakukan secara pribadi.

Dan benar saja, areal-areal yang dianggap terlarang di kampung saya itu ternyata merupakan makam para tetua zaman dahulu atau leluhur masyarakat Lesabe, juga sebagai tempat-tempat ibadah masyarakat mula-mula.

Luar biasanya, areal-areal tersebut sangat asri dan nyaman, dipenuhi pepohonan rindang sehingga terasa sejuk dan tidak ditumbuhi semak belukar—mungkin karena kurangnya pencahayaan matahari.

Misalnya, salah satu dari sejumlah tempat yang dianggap ‘terlarang’ yang saya kunjungi justru memiliki pemandangan yang lebih indah dan nyaman untuk bercengkerama dengan alam sekitar.

Meskipun letaknya tidak jauh dari jalan raya, suasananya tetap tenang dan sejuk.

Dari situ kita perlu menyadari bahwa tempat yang dianggap ‘terlarang’ ini merupakan warisan leluhur, ‘saksi’ dari jejak kehidupan masyarakat Kampung Lesabe di masa lalu.

Ini adalah kearifan lokal harus tetap kita pelihara, sebab di dalamnya ada makna yang sangat dalam, tentang melindungi alam, menghormati peninggalan budaya, dan keharmonisan antara manusia dengan lingkungan sekitar.

Barangkali, larangan bagi anak-anak untuk memasuki area tersebut—seperti yang dulu saya alami—bukan semata-mata karena sisi ‘mistis’-nya, melainkan untuk melindungi areal-areal itu agar tidak terjadi kerusakan, seperti kebakaran yang sulit dikendalikan atau rusaknya tanaman serta peninggalan sejarah penting yang telah terjaga sejak zaman dahulu.

Bagikan

Artikel
Terkait