Penulis: Rendy Saselah
Bagi masyarakat Sangihe yang dikenal sebagai bangsa bahari, hidup dalam harmoni dengan alam adalah prinsip utama. Manusia dan alam semesta dipandang sebagai dua entitas yang saling terhubung, sehingga tatanan sosial yang diwariskan oleh para leluhur bukan sekadar dikenang sebagai tradisi, melainkan dijalankan dengan kesadaran spiritual dan penghormatan mendalam.
Menghargai tatanan leluhur bukan berarti mengkultuskan. Esensinya adalah menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya, termasuk hewan laut.
Dalam kerangka inilah Maneke, ritus penangkapan ikan tradisional masyarakat Sangihe, harus dipahami sebagai prosesi budaya yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, ekologis, dan sosial, bukan sekadar praktik menangkap ikan secara massal.
Tradisi Seke, inti dari prosesi Maneke di Pulau Para Lelle, sejatinya telah lama ditinggalkan sejak tahun 1980-an, sebagaimana dituturkan oleh berbagai narasumber. Namun ketika ia dihidupkan kembali pada tahun 2024, hasil laut yang diperoleh begitu melimpah hingga menimbulkan decak kagum.
Masyarakat modern seolah mengalami culture shock melihat ribuan ikan mendekati pantai, seakan menjawab panggilan tradisi yang selama ini ditinggalkan. Namun pada pelaksanaan tahun 2025, hasil tangkapan tidak lagi semelimpah sebelumnya.
Apa penyebabnya? Tentu banyak faktor. Namun satu hal yang paling esensial adalah bahwa Maneke mulai kehilangan ruhnya sebagai ritus budaya. Ia mulai bergeser menjadi sekadar pesta rakyat, dirayakan dengan meriah namun ada yang terlewati seperti tata sakral yang telah digariskan para leluhur.
Dalam tradisi masyarakat Sangihe, setiap tahapan dalam prosesi Seke sarat akan makna yang mendalam. Pesta rakyat hanya dilangsungkan pada dua momen penting, pertama, saat masyarakat bergotong royong menganyam alat Seke, dan kedua, ketika hasil tangkapan telah diperoleh sebagai bentuk syukur dan perayaan bersama.
Di antara kedua momen tersebut, terdapat tahapan sakral bernama Mamata, sebuah ritual penyucian dan komunikasi spiritual dengan leluhur yang menandai dimulainya prosesi penangkapan secara adat. Ritual Mamata dipimpin oleh seorang Tonaseng, yaitu pemimpin kelompok Seke.
Dalam prosesi ini, alat Seke disiram dengan air kelapa muda sebagai simbol penyucian. Kelapa muda yang telah dibelah kemudian dilemparkan ke belakang. Posisi jatuhnya batok kelapa menjadi penanda spiritual: jika terbuka, menandakan kehadiran leluhur perempuan; jika tertutup, kehadiran leluhur laki-laki. Setelah itu, anak-anak dengan riang saling berebut sesajen berupa nasi kuning dan telur rebus yang diletakkan di atas alat Seke.
Menariknya, menurut beberapa sumber, setelah prosesi Mamata, suasana kampung harus dijaga dalam keheningan. Lampu-lampu dipadamkan. Jika ada kegiatan keakraban, dilakukan dengan sederhana dan penuh hormat. Ini bukan larangan tanpa alasan, melainkan bentuk keseimbangan alam dan manusia.
Penentuan waktu pelaksanaan Maneke pun tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Biasanya, waktu pelaksanaan ditetapkan melalui perhitungan bulan lokal, dengan merujuk pada siklus pasang-surut air laut. Masyarakat adat menyebutnya bulan Letu, yaitu fase ketika kondisi laut berada dalam keadaan paling tenang, pasang tidak terlalu tinggi, dan surut tidak terlalu dalam. Inilah waktu yang diyakini paling tepat untuk melangsungkan prosesi Maneke.

Pengetahuan ini diwariskan kepada para tetua adat yang mampu membaca tanda-tanda alam. Inilah yang menjadikan Maneke lebih dari sekadar tradisi; ia adalah kearifan ekologi yang dibalut dengan spiritualitas lokal. Maka jika kita ingin melihat Maneke kembali menjadi tradisi yang mendatangkan berkah dan kelimpahan, kita harus mengembalikannya pada jati dirinya sebagai ritus budaya. Bukan karena percaya pada kultus, bukan karena mitos belaka, tetapi karena di dalamnya terdapat panduan hidup yang menjunjung keseimbangan, syukur, dan kebersamaan.
Oleh karena itu, saya menolak segala bentuk isu yang mencoba mereduksi nilai-nilai budaya ini ke ranah sempit, terutama jika dibumbui kepentingan politik yang dangkal dan tidak berdasar. Lantas, apakah Seke-Maneke 2025 bisa dianggap gagal? Jawabannya: tidak!
Sebagai seorang pembelajar budaya Sangihe, saya meyakini bahwa keberhasilan tradisi bukan diukur dari jumlah tangkapan, tetapi pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya: semangat gotong royong, solidaritas masyarakat, kecintaan pada tradisi, dan penghormatan kepada leluhur.
Boleh jadi ada yang merasa kecewa karena hasil tangkapan tidak banyak. Namun mungkin justru dalam keterbatasan itulah kita diajak untuk belajar kembali tentang makna syukur dan berbagi. Seperti halnya prinsip utama dari Seke, bahwa hasil tangkapan harus dibagi kepada semua orang. Dari situ kita belajar bahwa Seke adalah tentang kebersamaan, bukan hanya hasil.
Karena itu, jika Seke benar-benar dikembalikan ke bentuknya sebagai sebuah ritus budaya, maka berapa pun hasilnya, ia tetap layak dirayakan sebagai kemenangan tradisi dan warisan leluhur.
Ketika pemimpin daerah hadir dalam prosesi ini, ia bukan sekadar penonton keajaiban masa lalu, tetapi dihormati dalam posisi adat sebagai Tonaseng atau Tembonang Banua.