Setiap awal Agustus, warna merah dan putih mulai mendominasi sepanjang jalan utama Kota Tahuna, Kepulauan Sangihe. Di antara deretan bendera yang berkibar tertiup angin, terselip kisah perjuangan pedagang musiman yang datang dari jauh demi mencari nafkah, sekaligus memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Hajat Sutrajat, warga asal Jawa Barat, terlihat sibuk menata bendera dagangannya di lapak sederhana di pinggir jalan. Sejak 28 Juli 2025, ia menggelar dagangan mulai dari ukuran kecil yang dijual Rp10.000, hingga bendera berukuran besar seharga Rp50.000.
Meski lalu-lalang kendaraan cukup ramai, pembeli masih jarang singgah.
“Biasanya mendekati tanggal 17 Agustus baru ramai. Sekarang masih sepi, tapi kami tetap semangat karena momen ini hanya setahun sekali,” ujarnya sambil merapikan bendera yang mulai kusut tertiup angin sore.
Di sisi lain jalan, Heru, pedagang asal Bandung, tak jauh berbeda kondisinya. Setiap hari ia mengandalkan kursi plastik dan payung peneduh kecil sebagai tempat berjualan.
“Kami ke sini bukan hanya untuk berdagang, tapi juga ingin melihat semangat masyarakat Sangihe menyambut kemerdekaan,” katanya.
Menurut Heru, berjualan atribut merah putih bukan semata soal keuntungan, tetapi juga rasa bangga bisa ikut menyemarakkan hari bersejarah bagi bangsa.
“Kalau melihat anak-anak membawa bendera kecil sambil tersenyum, itu sudah membuat hati senang,” tambahnya.
Bagi para pedagang ini, Agustus bukan hanya bulan kemerdekaan, tapi juga bulan penuh harapan. Harapan akan dagangan yang laris, harapan akan rezeki yang cukup untuk keluarga, dan harapan agar semangat merah putih tetap berkibar di setiap rumah warga Sangihe.
“Selama masih ada yang membeli dan memasang bendera, semangat kemerdekaan tidak akan pernah padam,” ucap Hajat, menatap deretan bendera yang berkibar di lapaknya, seakan menjadi saksi bisu perjuangannya jauh dari kampung halaman.
Penulis: Jaya Bawole