Kalumpang adalah kesenian tradisional yang disajikan dengan cara mencukur kelapa sambil menyanyi Bahasa sastra Sambo dan Bahasa Indonesia.
Salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Kepulauan Sangihe ini sudah sangat jarang ditampilkan. Pada kegiatan workshop pembelajaran yang diselenggarakan Burung Indonesia tanggal 9–11 Desember 2024 lalu, kesenian Kalumpang mendapatkan kesempatan untuk tampil kembali setelah lama vakum.
Kelompok seni dari Kampung Malamenggu memperoleh kehormatan untuk dapat menampilkan kesenian Kalumpang di hadapan peserta workshop. Penampilan ini mendapat sambutan hangat dari penonton, salah satunya Camat Manganitu yang mengaku baru “melihat kembali kesenian ini setelah terakhir kali menyaksikan pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar.”
Tarian dan nyanyian Kalumpang bermula sejak masa penjajahan Belanda. Pada waktu malam setelah bekerja sepanjang hari, masyarakat berkumpul untuk bernyanyi dan menari melepas penat, sambil membawa kakiraeng (alat tradisional pemarut kelapa) disertai bango (kelapa tua).
Kalumpang biasanya diikuti oleh 5–10 orang sebagai pemarut kelapa. Kemudian yang lainnya datang sekadar membawa kelapa dan menari sembari menyanyi Sambo, lagu sastra daerah. Kalumpang dengan daya tariknya bisa berlangsung dari malam hari hingga fajar menyingsing.
Selain bergembira bersama, hasil dari parutan kelapa ini diolah oleh masyarakat untuk dijadikan minyak goreng kelapa dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di Sangihe sendiri, ada lima penyebutan untuk kelapa, yaitu:
- Lingkube – buah kelapa yang paling kecil dan belum memiliki air.
- Kahungku/Kahungkui – kelapa yang sudah memiliki air namun belum ada dagingnya.
- Pulingka/Lewo – kelapa muda dengan daging lembut.
- Kembale – kelapa setengah tua yang dagingnya sudah mulai mengeras.
- Bango – Kelapa tua yang digunakan untuk membuat santan/minyak.
Seiring berjalannya waktu, disertai perkembangan teknologi, kesenian Kalumpang mulai terkikis. Masyarakat sudah memiliki listrik dan jaringan internet di rumah, sehingga untuk mencari hiburan rasanya sudah tidak perlu lagi berkumpul untuk bermain Kalumpang.
Itulah mengapa kesenian Kalumpang sudah jarang sekali terlihat, bahkan pada pementasan seni pun jarang ditampilkan karena para pelaku kesenian ini sudah berada pada usia senja.
Pak Desi, mantan Kapitalaung (Kepala Desa) Malamenggu, sebagai salah satu pelakon Kalumpang dalam tuturannya berharap semoga kesenian ini bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. “Semoga kesenian ini dapat diwariskan, agar terus ada dan tak lekang oleh waktu sebagai wujud kekayaan budaya masyarakat Sangihe,” ujarnya.
Kesenian Kalumpang bukan hanya sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sebagai salah satu warisan budaya yang mengandung nilai sejarah dan sosial yang sangat penting bagi masyarakat Kepulauan Sangihe.
Meskipun kini mulai terlupakan dan terpinggirkan oleh perkembangan zaman, khususnya kemajuan teknologi yang membawa hiburan baru, Kalumpang tetap menyimpan kenangan indah tentang kebersamaan, kerja keras, kreativitas, dan semangat masyarakat dalam menjaga tradisi.
Penulis: Marvio B. Pantas