Malamenggu: Nyanyian Air yang Baru Mengalir

Air yang bening, segar, dan penuh makna bagi warga pun mengaliri dusun, membuka jalan bagi masa depan lingkungan yang lestari serta keberdayaan berkelanjutan di Kampung Malamenggu, Kabupaten Kepulauan Sangihe.

The Narator

Nama Kampung Malamenggu di Kabupaten Kepulauan Sangihe menyimpan makna yang indah. “Mala” berarti rawa, dan “Menggu” adalah bunyi tetesan air yang jatuh di dalam gua—ritmis, tenang, dan harmonis. Nama itu seolah menjadi simbol dari suasana alam yang damai dan bersahaja.

Namun bagi sebagian warganya, kedamaian itu tak selalu berarti kemudahan. Meski dikelilingi sumber mata air yang melimpah, hingga tahun 2024 masih ada warga Kampung Malamenggu yang belum merasakan manfaat air bersih secara langsung.

Terutama mereka yang tinggal di dusun 1, yang setiap hari harus berjuang mendapatkan air untuk kebutuhan dasar: minum, mencuci, bahkan sekadar menyiram tanaman.

Harapan mulai tumbuh ketika dalam sebuah musyawarah desa bersama Kelompok Kerja Program Kampung Iklim (PROKLIM) Kunding Akele dan mahasiswa KKN PPM UGM, muncul gagasan sederhana namun berarti besar: membangun Bak Penangkap Mata Air (Bak PMA) di dusun 1.

Bagi sebagian orang, program tersebut mungkin hanya proyek kecil. Tapi bagi warga dusun, itu seperti menjangkau ‘langit’. Usulan itu disambut hangat oleh perangkat kampung.

KKN-PPM UGM
Kelompok Kerja Program Kampung Iklim (Proklim) Kampung Malamenggu, Kabupaten Kepulauan Sangihe, bersama mahasiswa KKN-PPM UGM membangun Bak Penangkap Mata Air (Bak PMA). Foto: Marvio Pantas/Narator

Kapitalaung—sebutan untuk kepala desa—tak ragu menyatakan dukungannya secara penuh. Ia bahkan mengalokasikan anggaran dari dana desa untuk mendukung pembangunan Bak PMA tersebut.

Namun, rencana besar tak bisa berdiri sendiri. Lahan tempat pembangunan Bak PMA berada di dekat rumah seorang warga, yaitu Bapak Robert. Ketika diminta pendapat, ia justru tersenyum dan berkata pelan, “Ini pertama kalinya ada bantuan desa untuk kami di dusun 1. Kalau ini untuk air, dan untuk semua, saya izinkan dengan senang hati.”

Bukan hanya mengizinkan, ia menghibahkan tanahnya secara cuma-cuma. Sebuah bentuk kepercayaan yang tak bisa dibayar dengan anggaran. Pembangunan pun dimulai, bukan oleh kontraktor, tapi oleh tangan-tangan warga sendiri.

Perangkat desa, anggota PROKLIM, mahasiswa, dan masyarakat gotong royong dari pagi hingga petang. Batu demi batu disusun, pipa dipasang, dan keringat pun mengalir bersamaan dengan harapan. Beberapa minggu kemudian, air itu benar-benar mengalir. bening, segar, dan penuh makna.

Bagi warga dusun 1, ini bukan sekadar air. Ini tentang kehidupan. Kini mereka bisa memasak, mandi, mengairi kebun, bahkan mulai memelihara ikan—bagian dari program ketahanan pangan lokal yang digagas PROKLIM.

Yang lebih menyentuh, balai desa yang sudah berdiri sejak 2004 dan selama dua puluh tahun tak pernah dialiri air bersih, kini akhirnya merasakannya. Tetes pertama di keran balai menjadi simbol bahwa harapan tak pernah sia-sia.

Kapitalaung Kampung Malamenggu tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. Dalam sebuah acara kecil, ia berdiri di hadapan warga dan berkata, “Ini bukan akhir, ini awal. PROKLIM telah membawa kita melangkah ke depan—bukan hanya soal air, tapi juga soal masa depan lingkungan dan keberdayaan kampung kita.”

Dan sejak saat itu, nama Malamenggu benar-benar hidup sesuai maknanya: tenang, bersenandung, dan kini, mengalir.

Penulis: Marvio Pantas

Bagikan

Artikel
Terkait