Dari Pulau Terluar ke Panggung Global: Perjalanan Seni Audro Chrustofel

“Seke Maneke,” tradisi bahari Sangihe dipamerkan oleh Audro Chrustofel di Galeri Seni Nasional Malaysia, menghadirkan gema laut dan napas nelayan yang terus bertahan dalam pusaran arus zaman.

The Narator

Galeri Seni Nasional Malaysia menjelma menjadi panggung megah di mana diplomasi tak lagi hanya diramu di meja perundingan, tetapi juga di atas kanvas, melalui lensa kamera, dan dalam alunan tradisi bahari. Pameran Seni BIMP-EAGA dan negara anggota ASEAN ini bukan sekadar pesta visual, melainkan sebuah jembatan kreatif yang menautkan identitas, dialog lintas budaya, dan visi bersama R.I.S.E—Resilient, Inclusive, Sustainable, Competitive—yang akan terus berdenyut hingga Februari 2026 mendatang.

Di balik kemegahan pameran ini, bernaung sebuah misi yang lebih luas: membangun konektivitas yang tak hanya berbicara tentang ekonomi, tetapi juga merajut jalinan sosial dan budaya di kawasan Asia Tenggara.

Indonesia hadir dengan dua nama yang membawa napas Nusantara ke jantung diplomasi seni ini. Audro Chrustofel, seniman muda dari Kepulauan Sangihe, dan Parta Yoga, kurator berpengaruh dari Bali, menjadi wajah negeri dalam forum seni yang dirancang sebagai ruang temu gagasan, eksplorasi, dan advokasi lintas batas.

Audro membawa denyut nadi pesisir Sangihe dalam karya multidisiplin yang menggugah: fotografi, film dokumenter, dan instalasi tiga dimensi yang menawan mata sekaligus mengguncang rasa.

Karya utamanya, Seke Maneke—mengangkat tradisi bahari Sangihe—seakan menghadirkan suara laut dan napas nelayan yang tak pernah lepas dari pusaran arus zaman.

“Seke ini saya bawa langsung ke Kuala Lumpur saat pembukaan,” tutur Audro sebelum keberangkatannya.

Ia menuturkan bahwa karya tersebut lahir dari proses sebulan penuh, hasil undangan khusus tim kurator Malaysia melalui jalur kurator Indonesia.

Selama dua pekan, Kuala Lumpur menjadi ruang belajar dan bertukar ide. Audro menjalani residensi artistik, berdialog dengan kurator internasional, memperluas jejaring, dan membuka peluang kolaborasi seni di masa depan.

“Ini peluang besar, bukan hanya untuk saya pribadi, tapi juga untuk memperkenalkan Sangihe sebagai wilayah yang kaya budaya dan potensi pariwisata,” ucapnya.

Lebih dari sekadar pameran, ia menyebut forum ini sebagai wujud nyata diplomasi budaya. “Seni punya daya tembus yang kuat. Dari ruang seperti ini, kerja sama strategis bisa lahir, bukan hanya di kalangan seniman, tapi juga pada tingkat kebijakan kebudayaan,” ujarnya mantap.

Kepada generasi muda di Sangihe dan wilayah kepulauan lainnya, Audro menitip pesan yang sederhana tapi mendalam:

“Jujur, konsisten, dan fokus. Karya yang jujur akan selalu menemukan jalannya. Ia akan hidup lebih lama daripada tren atau pujian sesaat.”

Pameran ini menegaskan bahwa seni bukan hanya urusan estetika. Seni juga merupakan bahasa diplomasi yang sunyi tapi kuat, menjembatani batas, menyuarakan identitas, dan menyulam kekuatan kawasan dalam sapuan kuas, sorotan kamera, hingga gema laut dari pulau-pulau terluar ASEAN.

Lewat pameran ini, Asia Tenggara bersatu bukan hanya melalui politik atau ekonomi, tapi melalui harmoni rasa yang tak lekang oleh waktu.

Penulis: Jaya Bawole

Bagikan

Artikel
Terkait