Polemik Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

The Narator

Kepemimpinan perempuan dalam Islam memang sudah menjadi salah satu isu yang cukup lama di perdebatkan.

Sebagian besar ulama Islam tradisional mengganggap bahwa kepemimpinan perempuan merupakan sebuah keharaman, hal yang didasarkan pada sebuah hadist nabi yang beriwayat shahih yang mengatakan bahwa “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” (Hadist Riwayat Bukhori).

Hal ini diperkuat lagi dengan dalil Al Quran yang mengatakan bahwa Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)”, (QS. An-Nisa’ [04]:24).

2 (dalil) diatas menjadi landasan kuat bagi para ulama klasik untuk menolak kepemimpinan perempuan dalam Islam. Imam Al Qasthalani dalam Kitab Irsadu Syari yang merupakan syarah Shokhih Bukhori dan Syaikh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Kitab Fathul Barri menguatkan argumentasi ketidak bolehannya konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kondisi sosial kemasyarakatan, muncul pemkirian-pemikiran kontemporer terkait diperbolehkannya perempuan menjadi pemimpin dalam Islam. Salah satu ulama yang mendukung pemikiran ini adalah Syaikh Wahbah Zuhaili.

Argumentasi dibolehkanya kepemimpinan perempuan didasarkan pada ayat Al Quran surah At Taubah ayat 71 yang artinya berbunyi “orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain”.

Ayat ini dipahami sebagai ayat yang menjadi dalil diperbolehkannya perempuan menjadi pemimpin dikarenakan tiada pembedaan baik laki-laki maupun perempuan dari golongan orang-orang yang beriman.

Para ulama kotemporer menerima konsep kepemimpinan perempuan karena beranggapan saat ini kelayakan untuk menjadi pemimpin tidaklah semata-mata karena jenis kelamin, namun didasarkan pada kompetensi dan kemampuan mempimpin, serta pada kebutuhan masyarakat akan pemimpin dengan kualifikasi tertentu.

Meskipun dalam Islam dengan melakukan pembatasan, misalnya dalam fiqih, bahwa walaupun mereka menerima perempuan sebagai pemimpin tapi tetap tidak membolehkan perempuan sebagai pemimpin dalam sholat. Begitu juga dalam hal perwalian dalam hal perkawinan, koridor syariat tetap memberikan larangan perwalian kepada perempuan dalam fiqih munakahat (perkawinan).

Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam

Terlepas dari polemik boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin dalam Islam, sejarah mencatat beberapa nama perempuan luar biasa yang menjadi mercusuar peradaban Islam.

Beberapa nama diantaranya adalah Khadijah Binti Khuwalaid yang merupakan perempuan pertama yang memeluk agama Islam. Khadijah pada masa itu adalah saudagar dan pemimpin usaha perdagangan yang dihormati, juga ada Aisyah binti Abu Bakar yang meriwayatkan tidak kurang dari 2.210 hadist.

Kemudian di beberapa abad berikutnya ada Fatimah al Fihriyah perempuan muslim pendiri universitas Islam pertama yaitu Universitas Al Qarrawiyin di Fes, Tunisia, dan masih ada Robiatul Adawiyah, tokoh sufi perempuan yang mampu membuat tokoh sufi besar seperti Hasan Al Basri terdiam. Mereka semua adalah perempuan besar yang mewarnai keagungan sejarah peradaban Islam.

Dengan semua diskursus dan fakta sejarah yang sudah ada, nyatanya polemik kepemimpinan perempuan dalam Islam masih menjadi objek perdebatan yang masih banyak peminatnya. Wallahu’alam.

Penulis: M. Pakar Sabrang
Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Bagikan

Artikel
Terkait