Narator.co – Bagi sebagian anak muda, kembali dan membangun desa mungkin bukan hal yang diidamkan. Kesan “berat” dan jauh dari hiruk-pikuk kota bikin banyak yang ragu untuk menjalaninya.
Tapi di Rumengkor Satu, sebuah desa kecil di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, anak-anak muda percaya bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kampung sendiri. Dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Maesaan jadi alat utama untuk mewujudkannya.
BUMDes Maesaan adalah badan usaha yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat desa Rumengkor Satu, baik sepenuhnya maupun sebagian, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Martsindy Rasuh, Direktur BUMDes Maesaan, berbagi cerita dengan Narator tentang bagaimana melalui wadah ini, anak-anak muda desa mengambil peran penting dalam membangun ekonomi lokal sekaligus memperkuat ketahanan pangan.
BUMDes: Wadah Strategis untuk Mengelola Potensi Desa dan Menjaga Ketahanan Pangan
Martsiny bercerita, kalau dia dan anak-anak muda desa memilih bergabung dalam BUMDes karena memiliki niat yang besar untuk berkontribusi terhadap pembangunan desa.
“BUMDes kami pilih karena ini adalah lembaga resmi desa yang mengelola potensi lokal secara bersama-sama,” kata Martsindy.
Alasan lainnya, Martsindy mengamati bahwa BUMDes merupakan wadah yang sangat strategis karena mampu mengintegrasikan sektor pertanian, distribusi, dan pemasaran dalam satu sistem yang sepenuhnya dikendalikan oleh masyarakat desa.
Menurutnya, sebagai lembaga resmi desa, BUMDes memiliki kekuatan besar dalam mengelola potensi lokal secara kolektif dan mendorong pergerakan ekonomi desa dari dalam.
“Melalui BUMDes, kami bisa membangun ekonomi desa dari bawah, berdasarkan kebutuhan dan kekuatan yang dimiliki masyarakat sendiri. Ini adalah cara efektif untuk menciptakan kemandirian desa secara berkelanjutan,” jelas Martsindy.
Program-Program Unggulan BUMDes Maesaan
Marsindy bercerita, BUMDes Maesaan yang baru terbentuk memiliki sejumlah terobosan unik dalam pengelolaan ekonomi desa.
Setiap program yang dirancang bertujuan langsung untuk menjawab berbagai permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat desa.
“Pengelolaan lahan pertanian untuk budidaya pangan lokal secara kolektif, Penyediaan pupuk dan bibit melalui sistem gotong royong, Operasi warung desa sebagai pusat distribusi bahan pangan pokok, Pelatihan pertanian organik dan pengolahan hasil panen,” kata Martsindy dengan penuh semangat.
Sementara untuk pemasaran, BUMDes Maesaan memanfaatkan berbagai platform digital. “Digitalisasi pemasaran hasil tani melalui media sosial dan platform e-commerce lokal,” jelas Martsindy.

Tantangan dalam Pengelolaan BUMDes dan Keterlibatan Warga
Menurut Martsindy, meskipun potensinya besar, tapi pengeloaan BUMDes memiliki tantangan yang kompleks.
Tantangan terbesar dalam pengelolaan BUMDes adalah keterbatasan modal, cuaca yang tidak menentu, dan masih rendahnya literasi bisnis masyarakat desa.
Selain itu, membangun kepercayaan dan konsistensi kerja tim juga membutuhkan proses yang tidak singkat.
Namun Martsindy yakin, tantangan-tantangan yang ada, akan terselesaikan jika melibatkan masyarakat di dalamnya, tak hanya sebagai pengelola, tapi juga sebagai pekerja dan mitra BUMDes.
“Penting melibatkan warga dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program. Lewat musyarawah desa, kami dengarkan aspirasi mereka dan libatkan dalam pengambilan keputusan,” tegas Martsindy.

Ketahanan Pangan adalah Tanggung Jawab Semua Pihak
Ketahanan pangan dalam pandangannya tidak serta merta soal produksi semata, melainkan ketersediaan akses dan keberlanjutan. Marsindy menegaskan, ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama.
Hal ini tidak hanya dapat terwujud lewat produksi pertanian, tapi juga mengatur distribusi dan pemasaran hasil panen secara mandiri.
“Lewat BUMDes kami memastikan semua aspek itu berjalan,” jelas Martsindy.
Oleh karena itu, belajar dari komitmen dan pengalamnnya, dia berpesan kepada anak-anak muda untuk mengabdi dan berkarya di desa.
Menurut Martsindy, potensi desa yang besar, memerlukan pemikiran dan peran anak muda untuk menggalinya. Anak muda punya energi, kreativitas, dan akses teknologi yang bisa jadi kunci kemajuan desa.
“Bangun Kampung bukan pilihan terakhir, tapi bisa jadi pilihan terbaik,” – Martsindy Rasuh.