Narator.co – Kain Koffo adalah kain tenun tradisional khas Sangihe Talaud, warisan budaya Indonesia.
Kain Koffo terbuat dari serat pisang Abaka atau orang Sangihe-Talaud kerap kali menyebutnya Hote.
Hote ini merupakan spesies pisang yang tumbuh di area Sangihe selama berabad-abad, yang digunakan masyarakat di perbatasan utara Indonesia ini untuk material rumah tradisional maupun sebagai bahan baku pembuatan kain.
Namun, pada akhir abad ke-19, atas perintah kolonial Belanda pisang Abaka dihancurkan dan digantikan dengan kopi, tebu dan kapas.
Kendati demikian, masyarakat Sangihe Talaud tetap menanam pisang hote dan meneruskan kerajinan warisan leluhur ini.
Hingga pada tahun 1924, Kerajaan Tabukan mengirimkan kain koffo untuk dipamerkan di Pekalongan dan mendapatkan pengakuan dengan mendapatkan penghargaan Erediploma.
Pada tahun 2017, Kain tenun Koffo termasuk ke dalam salah satu kain tenun di antara 33 tekstil lainnya yang dinyatakan sebagai warisan non-materi yang diawetkan dan dilindungi.
Motif dan Filosofi Kain Koffo
Koffo memiliki motif yang unik, yang diadaptasi dari kekhasan budaya Sangihe.
Misionaris Belanda Mr. K.G.F Stellar dan Ds W.F Aebesold dalam buku Sangirees Nederlands Woor den Book Met Nederlands Sangirees Register dalam Uillustratiesen Kaart van de Sangihe en Talaud Einlanden mengungkapkan Beberapa jenis ragam hias yang berlaku di Sangihe Talaud.
Ragam hias tersebut diantaranya Sohi, Isin Kemboleng, Kakunsi Tiwatu, Kui, Salikuku, Mallhuge,Papoahiang, Nalang u anging, Nihiabe, Taluke, Lombang, Luwu atau Sasikome, dan Dalombo.
Ragam hias ini kemudian diadaptasi dan menjadi motif Koffo. Motif Kakunsi Tiwatu (Anak Kunci Utuh) merupakan motif yang populer digunakan.
Motif ini berdasarkan geometri, sosok kunci kakunsi, yang dianggap sebagai kesenian paling primitif dari suku tertua di Indonesia.
Motif ini juga digunakan sebagai motif rumah masyarakat suku Sangihe jaman dulu. Dalam bukunya Kain Tenun Tradisional “Kofo” di Sangihe, Steven Sumolang mengungkapkan pada jaman dulu, proses penenunan kain Koffo sangat erat dengan budaya Sangihe.
“Dilantunkan lagu dan irama Sasambo (syair), yang mengandung pesan yang mendalam, seperti kerja keras, tantangan dan saling membantu.”
Warna dan Makna dalam Kain Koffo
Suku Sangihe mengenal beberapa pewarnaan yang mencolok, seperti warna kuning, ungu, merah, putih, dan hijau.
Masing-masing warna pun diambil dari bahan alam sekitar dan mengandung makna tersendiri.
- Warna kuning melambangkan kesucian dan keagungan.
- Warna ungu kesetiaan
- Merah melambangkan keberanian
- Warna putih melambangkan kesucian.
- Warna hijau melambangkan ketenangan dan kesabaran.
Warna kuning diambil dari kunyit atau daun-daunan yang berwarna hijau, warna ungu dan coklat diambil dari mengkud atau bakau.
Sementara warna merah didapat dengan merebus umbi kunyit yang dicampur dengan kapus dan warna hijau dengan merebus daun.
Kain Koffo dalam Busana Masyarakat Sangihe-Talaud
Kain Koffo yang sudah jadi digunakan untuk pakaian pria dan wanita atau disebut dengan Laku Tepu.
Bagi pria dewasa, laku tepu terdiri dari celana panjang, kemeja lengan tanpa kerah (baniang), dilengkapi dengan ikat pinggang (papegong) dan penutup kepala (paporong).
Paporong atau pengikat kepala menggunakan bahan dari kain kofo dengan ukuran 1 x 1m, dibentuk segitiga samasisi, alasnya dilipat tiga kali dengan Iebar 3- 5 em.
Paporong diikat pada bagian kepala menutupi dahi. Berbeda dengan rakyat biasa, paporong bagi kaum bangsawan disebut paporong kawawantuge sedangkan untuk rakyat biasa disebut paporong lingkaheng.
Lalu ada popehe atau ikat pinggang yang berfungsi untuk memperindah laku tepu sekaligus mengatur laku tepu apabila kepanjangan. Popehe bermakna untuk membangkitkan semangat dalam melaksanakan tugas maupun untuk menghadapi tantangan.
Pakaian kerja yang digunakan di kebun adalah celana pendek atau ponggo, ikat pinggang yang terbuat dari serat pisang kipas.
Sementara untuk pakaian wanita modelnya berbeda, yakni model terusan sampai ke lutut dengan tangan kebaya lengan panjang, dilengkapi dengan pakaian dalam atau kahiwu yang dilingkarkan di bagian perut dan selendang atau bawandang.
Namun ada perbedaan pengunaan pakaian ini untuk dipakai sehari-hari atau saat ke acara tertentu, yakni pada cara berdandan, kualitas dan warna pakaian.
Untuk anak-anak, modelnya juga berbeda. Baik pada acara tertentu maupun dipakai sehari-hari, pakaian bagi anak-anak disebut kringking-krongkong.
Kingking bagian atas atau kemeja tidak memakai kerah dan tidak memakai lengan, kemudian dilengkapi ikat pinggang. Kongkong, celana dengan panjang celana di bawah lutut dengan modelnya memakai tali gantung untuk digantung di pundak sampai belakang hingga berbentuk silang.
Namun tak terbatas pada pakaian saja, baik pria dan wanita dewasa dan anak-anak, kain Koffo juga digunakan untuk sarung, selempang, tirai, ikat pinggang dan sebagainya.
Koffo Kini: Tradisi dalam Desain Kontemporer
Dalam catatan yang ada, kain Koffo pertama kali dipamerkan di Pekalongan dan mendapatkan penghargaan Erediploma.
Namun sejak tahun 1970, penenunan kain Koffo mulai menghilang dan pengetahuan tentang kain Koffo pun mengendap dalam buku-buku sejarah.
Di era milenium, semangat menghidupkan kembali kain koffo pun muncul di kalangan masyarakat.
Pakaian koffo sekarang telah dimodifikasi dan didesain lebih modern dan relevan dengan zaman. Kain trasidional milik masyarakat perbatasan Indonesia-Filipina ini banyak diproduksi dengan benang kapas atau bahan modern lainnya dalam upaya revitalisasi dan inovasi desain sebagaimana aslinya pada masa lalu.
Namun, revitalisasi ini tidak menghilangkan unsur motif dan budaya masyarakat Sangihe-Talaud yang melekat didalamnya.
Berbagai motif pun telah dimasukkan dalam berbagai jenis pakaian, baik pakaian kasual, batik modern, hingga pakaian resmi, menjadikannya bagian dari gaya hidup masa kini.
Ada motif Kakunsi Tiwatu, Isin Kemboleng dan motif lainnya, yang tak jarang dipakai oleh lintas generasi di Sangihe.
Revitalisasi Kain Koffo ini pun menjadi trigger bagi “orang” Sangihe-Talaud untuk terus mengingat dan melestarikan warisan leluhur ini.
Koffo bukan sekadar kain, tetapi merupakan identitas, sejarah, dan kebanggaan masyarakat Sangihe-Talaud.
Dari serat hote yang dahulu ditenun dengan tangan hingga beralih ke benang kapas yang dirancang dengan sentuhan modern, Koffo membuktikan bahwa warisan budaya dapat terus hidup, berkembang, dan tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Penulis/Editor: Sandra Refli Medawo